Logo

BERTERUS TERANG

BERTERUS TERANG

Dokter, anda orang Jawa ya....?”
    Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari seorang suami pasien yang pernah saya layani. Suami pasien tersebut adalah orang Belanda, sementara istrinya sedang sakit di sebuah hotel di Yogyakarta. Karena tempat saya bekerja waktu itu adalah semacam klinik yang melayani pemeriksaan kesehatan / dokter panggil bagi kepentingan turis dan pariwisata, maka saya pun segera meluncur ke hotel tersebut. Setelah melakukan pemeriksaan dan saran terapi, sang bapak yang kurang lebih berumur 60an tahun ini menawarkan teh di hotel untuk saya minum dan beberapa makanan kecil. Namun karena mungkin waktu itu saya sedang tergesa, ataupun sungkan, ataupun memang sudah kenyang, maka saya pun menjawabnya, ”Terima kasih pak, tidak usah repot repot.”

 

       Spontan pun sang bapak ini menegur saya dengan kalimat pertama di atas. Saya pun langsung heran. Lha kalo orang lihat wajah saya yang sawo matang begini kan jelas orang bisa menebak kalo saya orang Jawa ? Saya pun menjawab, ”Iya pak, saya orang Jawa, maksud pertanyaan bapak ?”
Dan kemudian di sambung. ”Orang jawa tuh ya kayak dokter ini lho, kalo ditawarin sesuatu sukanya menjawab 'tidak, terima kasih', padahal sebenarnya ya mau juga. Malu-malu dan tidak suka terus terang......” Cukup lancar bapak ini berbicara dalam bahasa Indonesia.
Sejenak saya pun tertegun. Benar juga si bapak londo ini, kenapa juga selama ini saya jadi begini ya ? apakah karena semacam budaya, jiwa pemalu saya, ataupun karena rasa percaya diri saya yang kurang ? Dan dalam waktu tidak sampai lima detik saya pun langsung merubah sikap dan tanpa malu-malu lagi menjawab, ”Baik bapak, saya terima tawarannya, saya minum tehnya dan makan snack nya ya”. Tidak hanya sekedar saya minum teh, bahkan saya menghabiskan semua snack yang ditawarkan.
Menggelikan memang, kalo saya mengingat peristiwa tersebut. Sebuah dorongan dan energi yang luar biasa kemudian mulai menyentuh hati dan jiwa saya sejak saat itu. Saya tidak boleh lagi seperti itu. Falsafah budaya Jawa memang banyak yang baik, namun juga ada juga yang tidak baik. Demikian pula pasti ini juga ada di budaya adat lain di negeri kita ini.
Budaya “ewuh pakewuh”, memang menjadi titik lemah baik pada orang Indonesia sebagai keturunan suku Jawa, ataupun orang dari suku manapun yang tinggal di Jawa. Seakan orang-orang yang sudah tinggal lama di Pulau Jawa ini pun akan terbius dan terbawa oleh budaya ini, baik di rumah, masyarakat, sekolah, maupun lingkungan kerja.
Lain halnya bila kita melihat beberapa film dari luar negeri baik di Eropa / Amerika. Terlihat betapa anak-anak seusia SD, mereka dapat dan berani berpendapat, bertanya dengan gurunya maupun orang yang lebih tua, juga orang yang ditanya pun menjawab. Namun kembali kepada kita di lingkungan di Jawa ini, sering anak-anak kita justru kita didik untuk memiliki rasa sungkan yang tinggi terhadap orang yang lebih tua ataupun atasan, hingga budaya ini terbawa sampai kita dewasa dan kita sulit untuk membedakan antara rasa sopan, sungkan, malu dan takut.
Sampai kapan budaya ini akan mengakar ke kita dan generasi mendatang, tergantung pada dua hal. Yaitu bagaimana kita sebagai anak atau bawahan mau untuk terus belajar supaya lebih berani berpendapat, baik dalam hal bertanya, mengungkapkan hal yang benar, maupun menunjukkan hal yang kurang benar. Yang kedua juga tergantung kita sebagai orang tua atau atasan dalam menanggapi anak kita atau bawahan kita terhadap pertanyaan, saran dan kritik mereka. Apakah kita akan berterima kasih, akan mempertimbangkan bahkan memperbaiki kekurangan yang ada, ataukah justru kita akan mengecam anak / bawahan kita karena keberaniannya dalam bertanya maupun menegur. Selama kedua hal tersebut tidak pernah diusahakan dari kedua belah pihak, tentunya akan sulit sekali budaya “ewuh pakewuh” ini akan hilang

“Jujur itu indah pada akhirnya walaupun getir terasa pada awalnya.”

Mencoba memiliki sikap terus terang dan jujur terhadap diri sendiri akan membuat kita lebih nyaman dalam bersikap dan berinteraksi dengan orang lain. Dan ketidakjujuran pasti akan terlihat di dalam bahasa tubuh kita. Orang lain akan mudah melihat dari mata, tangan, kaki, kegelisahan tubuh kita saat kita tidak jujur terhadap diri kita. Padahal rahasia pertama dan paling penting untuk berhasil memahami bahasa tubuh kita adalah kejujuran. Kejujuran dan kebenaran bagi diri anda sendiri dan orang lain adalah kunci menuju kebahagiaan (Martin Lloyd, 1994). Dikatakan pula dalam bukunya, supaya kita tidak berpura-pura menjadi sesuatu atau seseorang demi memikat seseorang. Meskipun mungkin langkah itu berhasil, hubungan tersebut akan didasari pada landasan palsu dan akhirnya akan gagal.
Memikat seseorang bukan selalu berarti dalam arti harafiah yaitu ketertarikan secara seksual semata, namun juga dalam arti menggerakkan hati seseorang, teman kita, rekan kerja kita, klien kita, konsumen kita, karyawan/bawahan kita bila kita sebagai atasan suatu bagian ataupun pimpinan, juga sebaliknya terhadap atasan kita. Demikian pula saya sebagai seorang dokter dalam hal memberikan diagnosa dan terapi, juga penjelasan terhadap pasien, memerlukan kejujuran dan keterus-terangan agar pasien/ keluarga pasien paham akan kondisi penyakitnya.
Marilah kita senantiasa untuk memiliki sikap refleksi terhadap hati dan pikiran kita, sehingga kejujuran dapat selalu kita usahakan dalam berpikir, berucap dan bertindak, untuk menghasilkan hasil akhir yang baik dan benar dalam banyak hal.

 

{ Esai dr. Panji Aryo Prabowo, SpPD, Mkes }

*Dimuat dalam Majalah Kasih Edisi 33 ( JANUARI - MARET 2013 )

 

 

Tentang Penulis

Patricia Putri

patricia putri

Prev PERENCANAAN KELUARGA MELALUI PROGRAM KELUARGA BERENCANA
Next KETAATAN DALAM PENCOBAAN

Tinggalkan Komentar