Logo

ASPEK ETIK DALAM IMPLEMENTASI - INFORMED CONSENT

ASPEK ETIK DALAM IMPLEMENTASI - INFORMED CONSENT

A. Sejarah Informed Consent
NAZI di bawah pimpinan Adolf Hitler pada masa  perang dunia telah menyisakan banyak kejahatan kemanusiaan dan  pelanggaran hak asasi manusia dalam setiap aspek kehidupan, salah satunya dalam bidang kesehatan. Pada  4 Maret 1945, para dokter yang dibebaskan dari  kamp konsentrasi Auschwitch menceritakan bagaimana para tahanan diperlakukan sebagai kelinci percobaan dalam penelitian yang dilakukan pihak NAZI. Selanjutnya mereka mendesak pihak sekutu dan negara-negara netral untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Nuremberg Medical Trial yang berlangsung dari Desember 1946 – Agustus 1947, merupakan puncak dari hasil Investigasi yang dilakukan untuk menyelidiki medical war crime. Hal inilah yang menjadi tonggak sejarah dari informed consent sebagai penghormatan kepada Hak Asasi Manusia  ( HAM ).
Undang - undang No.39 Tahun 1999 Pasal 1 Butir 1 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan  bahwa, “ Hak  asasi manusia adalah seperangkat  hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia ”.  Oleh karena itu HAM harus dikedepankan dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam bidang kesehatan. Informed consent merupakan salah satu isu yang cukup penting dalam bidang kesehatan dan perlu mendapatkan perhatian serius oleh tenaga kesehatan, karena hal ini berhubungan dengan hak setiap orang untuk menentukan nasib sendiri, hak atas kesehatan, dan hak atas informasi.
    Secara umum informed consent  dapat dikatakan sebagai pemberian izin oleh pasien kepada  dokter setelah pasien menerima informasi mengenai  berbagai hal yang berkaitan dengan penyakit yang dideritanya. Declaration of Lisbon oleh World Medical Association           (WMA) pada tahun 1981 dan Patient`s Bill of Right oleh American Hospital Association ( AHA ) pada tahun 1972 juga mencantumkan hak pasien untuk memperoleh informasi mengenai segala hal yang berkenaan dengan kesehatannya dan juga kebebasan untuk menerima maupun menolak terapi yang akan diterimanya.
    Pengobatan dalam bidang kedokteran bukanlah suatu hal yang eksak atau dapat dipastikan keberhasilannya. Oleh karena itu, perikatan dalam bidang kesehatan bersifat inspanning verbintenis atau usaha maksimal, hal ini berarti dokter tidak dapat memberikan jaminan kesembuhan atau keberhasilan perawatan yang diberikan. Disinilah letak pentingnya informed consent baik bagi dokter maupun pasien.

B.  Informed Consent
    Istilah informed consent terdiri atas 2 kata, yaitu informed dan consent. Informed berarti telah diberikan penjelasan dan consent berarti memberikan persetujuan. Kedua kata ini membentuk suatu frase yang dapat didefenisikan sebagai suatu persetujuan yang diberikan atas sesuatu hal yang telah diinformasikan atau diketahui oleh orang yang memberikan persetujuan tersebut. Bila dikaitkan dalam bidang kesehatan informed consent ini berarti persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan setelah menerima informasi yang berkenaan dengan masalah kesehatan yang diderita dan tindakan medis yang akan diterimanya. Di Indonesia perkembangan secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”.
Menurut Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU No 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, maka Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekat pasien tersebut.
    Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko baik yang melekat dengan tindakan yang akan dilakukan maupun yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya, alternatif, prognosis, harapan, dan juga biaya.5 Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien.
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran seperti yang tercantum dalam Permenkes No 290/Menkes/Per/III/2008adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergensi), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Sebelum melakukan suatu tindakan medis, dokter wajib untuk meminta persetujuan pasien terlebih dahulu. Persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara tulisan atau lisan    (expressed),  atau bisa juga hanya sekedar dengan gerakan tubuh      (implied) yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya mengangguk.6 Sebagaimana ditegaskan dalam Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien berhak bertanya terlebih dahulu tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas. Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut.
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi dan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Suatu informed consent dikatakan sah apabila persetujuan tersebut  mengandung 3 unsur, yaitu keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter, kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan, dan kesukarelaan  dalam memberikan persetujuan. Hal tersebut diperlukan karena informed consent bertujuan untuk memberikan perlindungan baik kepada pasien maupun dokter. Bagi dokter, informed consent ini sangat penting karena dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan tidak dapat dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.

B. Aspek Etik
Dalam dunia medis dikenal 4 prinsip etika dasar, yaitu: tidak merugikan, berbuat baik, keadilan, dan otonomi. Otonomi merupakan suatu bentuk kebebasan bertindak di mana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri dan dapat dikatakan sebagai hak atas perlindungan privasi. Baik dokter maupun pasien, masing-masing pihak mempunyai otonomi dalam perawatan medis.
Informed consent sebagai suatu bentuk komunikasi dokter-pasien merupakan suatu upaya untuk memenuhi kewajiban etik dan persyaratan hukum. Otonomi pasien merupakan  cerminan konsep self governance, liberty rights, dan individual choices dan merupakan dasar dari Informed consent. Declaration of Lisbon oleh World Medical Association (WMA) dan Patient`s Bill of Right oleh American Hospital Association (AHA), menekankan  hak pasien  untuk menerima atau menolak suatu tindakan medis setelah menerima berbagai informasi yang berkaitan dengan penyakitnya.
Berbagai kasus dalam praktik Kedokteran yang menyebabkan  dokter terkena gugatan perdata atau sanksi pidana selama ini mendorong perlunya peraturan hukum antara dokter dan pasien dalam apa yang disebut dengan persetujuan medik. Oleh karena itu, masalah perlunya Informed consent tidak hanya menyangkut hak-hak pasien, tetapi sekaligus melindungi dokter dalam menjalankan profesi sehari-hari. Informed consent tidak hanya berkaitan dengan hukum tetapi juga mempunyai landasan etik. Dasar etik yang terkuat dalam  Informed consent ini adalah keharusan bagi setiap dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasiennya.
Hubungan antara dokter dengan pasien berada dalam kedudukan yang seimbang karena masing-masing  mempunyai kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain di mana peranan tersebut berupa hak dan kewajiban. Permasalahan yang sering memicu masalah antara pasien dengan sarana pelayanan kesehatan/dokter adalah kedua belah pihak kurang mengerti hak & kewajibannya dan juga komunikasi yang buruk.
Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal diluar dugaan karena harus ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian.

 

{ Oleh : Albertus Fredi Susanto,drg.Sp. Pros }

*Dimuat dalam Majalah Kasih Edisi 37 ( JANUARI - MARET 2014 )

Tentang Penulis

Patricia Putri

patricia putri

Prev KENALI DAN ATASI PENGAPURAN SENDI OSTEOARTRITIS
Next PERTOLONGAN PERTAMA PADA SITUASI GAWAT DARURAT YANG ANDA PERLU TAHU

Tinggalkan Komentar